Kerusuhan Tahun 98, Tidak Ada Perusuh Yang Pakai Peci dan Sorban, Kampanye Ahok Jarot Sangat Mengintimidasi Umat Islam.
Salah seorang warga DKI Jakarta bernama Rizki Ridyasmara yang merupakan saksi mata peristiwa tragedi 98 menceritakan bahwa pada saat pecah kerusuhan tidak ada terlihat perusuh yang mengenakan atribut keislaman seperti peci dan sorban.
Berikut ini kesaksian lengkap dari Rizki Ridyasmara
Kesaksian 13 Mei 1998, Tidak Ada Perusuh Yang Pakai Peci dan Sorban
Video kampanye Timses Ahok-Djarot yang melukiskan kerusuhan Jakarta, 13 Mei 1998, benar-benar ahistoris dan penuh kebohongan. Saya tidak tahu, apakah para pembuatnya memang benar-benar berada di lapangan seantero Jakarta ketika tragedi itu terjadi atau tidak. Apakah Ahok ketika itu sudah ada di Jakarta? Apakah Djarot waktu Jakarta rusuh itu juga sedang ada di Ibukota? Saya ragu. Di hari itu, alhamdulillah, saya bersama isteri, merupakan salah satu saksi hidup awal hingga akhir terbakarnya banyak titik di Jakarta.
Tulisan ini saya buat agar mereka yang tidak tahu dan tidak berada di Jakarta di hari itu menjadi paham jika video orang-orang berpeci dan bersorban membuat rusuh Jakarta itu BOHONG BESAR.
Mei 1998, usia saya ketika itu 27 tahun. Profesi wartawan. Sudah menikah namun belum dikarunia anak. Beberapa bulan lalu, Majalah ISHLAH baru saja tutup. Kami terpaksa kembali tingal di rumah mertua di Utan Kayu, di belakang Kompleks Kehakiman, bertetanggaan dengan Pramoedya Ananta Toer dan Erry Riana Hardjapamekas, wakil ketua KPK periode 2003-2007.
12 Mei 1989 sore, saya mendengar jika empat mahasiswa Trisakti menjadi martir ditembak aparat ketika tengah menggelar aksi demo di dalam lingkungan kampus. Insting saya langsung mengatakan jika eskalasi politik nasional akan meningkat drastis. Berbagai momentum sudah bertemu dan tinggal menunggu pecah. Dari berbagai kontak lewat telepon umum dan juga pager, ketika itu telepon genggam masih menjadi barang mewah dan sinyalnya pun lebih sering mati sehingga GSM diplesetkan menjadi “Geser Sedikit Mati”, saya mendapat kabar jika para mahasiswa se-Jabodetabek akan menggalang aksi solidaritas di Kampus Trisakti Grogol esok harinya. Malam hari udara Jakarta pengap dan gerah. Saya dan isteri malam itu berencana akan ke Kampus UI Salemba untuk menghadiri apel akbar mahasiswa yang akan diisi Mimbar Bebas. Lokasi Kampus UI Salemba tidak sampai dua kilometer dari rumah mertua dimana kami tinggal.
13 Mei 1998 pagi, sekitar pukul 07.30 wib, saya dan isteri naik bus dari depan Gedung BPKP di Jalan Pramuka Raya menuju Kramat Raya. Saya yang pagi-pagi itu sudah berdiri di dalam bus melihat orang-orang sudah berkumpul di mulut-mulut gang, juga di Jalan Pembina, Penggalang, dan Penegak. Di daerah ini pada tahun 1994 saya aktif sebagai anggota Yayasan PIJAR (Pusat Informasi Jaringan Anti Rezim) dimana saya berkenalan dengan aktivis-aktivis anti rezim Suharto seperti Nuku Sulaiman, Hakim Hatta, Tri Agus Susanto (TASS), dan lainnya. PIJAR ‘tiarap’ setelah markasnya di Jalan Penggalang digerebek aparat Suharto gegara peristiwa stiker SDSB (Suharto Dalang Segala Bencana). Itu yang saya ketahui. Sebagai aktivis, melihat suasana kebatinan Jakarta pagi ini, saya yakin akan ada peristiwa besar di ibukota hari ini paska empat mahasiswa Trisakti menjadi martir. Semua teori Gerakan Massa dan Revolusi mengatakan itu. Dari Eric Hoffer hingga Materialisme-Historisnya Marxis.
Tak sampai setengah jam, kami sudah berada di dalam lingkungan kampus UI Salemba. Acara mimbar bebas sudah dimulai dengan dihadiri anak-anak berjaket kuning. Kami berada di dalam lingkungan kampus di areal parkir depan Masjid Arif Rahman Hakim, dua meter dari pagar besi di mana Jalan Kramat Raya berada.
Hari semakin beranjak siang. Entah datangnya dari mana, jalan Kramat Raya sudah penuh dengan massa miskin kota. Mereka berteriak-teriak memprovokasi mahasiswa agar bergabung dengan mereka, ikut turun ke jalan. Namun para pemimpin mahasiswa menyerukan anak-anak agar tetap di dalam lingkungan kampus.
“Jangan terprovokasi! Jangan terprovokasi! Kita tetap di dalam kampus!” teriak mereka dengan lewat TOA. Di atas mimbar juga disiarkan pengumuman yang sama jika aksi mahasiswa hari ini adalah mimbar bebas dan tidak turun ke jalan.
Dari balik pagar saya memperhatikan massa liar yang sudah memenuhi jalan Kramat. Tiba-tiba asap membubung tinggi di depan RS. St Carolus. Massa liar membakar sebuah mobil boks polisi yang memang setiap hari berada di sana. Fahri Hamzah, yang berdiri tak sampai dua meter dari kami, sibuk berkoordinasi dengan sejumlah titik simpul aksi mahasiswa. Tiba-tiba dia mendesis, “Ada pembakaran di depan Trisakti!” Kami kaget. Beberapa waktu kemudian kami mendapat konfirmasi jika sebuah truk dibakar massa di bawah jembatan layang Grogol depan Trisakti.
Tak lama kemudian, Fahri kembali mengatakan jika situasi Jakarta makin panas. “Pasar Minggu dibakar, Pasar Senen juga…”
Tak lama kemudian saya juga mengetahui jika Glodok, Jakarta Kota, Mall Klender, dan sejumlah titik di Jakarta dan sekitarnya dibakar massa. Penjarahan mulai terjadi. Usah sholat Dhuhur, isteri mengajak saya balik ke rumah di Utan Kayu. Mungkin dia takut karena situasi kian panas menuju chaos. Saya pun keluar dari gerbang depan Masjid ARH, menyeberang Jalan Kramat Raya dan berjalan kaki menuju perempatan Matraman. Jalan sudah lengang, tak ada kendaraan bermotor yang lewat, kecuali satu-dua mobil TNI dan motor warga. Polisi tak tampak batang hidungnya.
Sambil berjalan kami melihat massa miskin kota yang sibuk merusak pot-pot kembang di pinggir jalan, menendang dan mencabut tiang-tiang rambu jalan, melempar apa saja memecahkan kaca gedung-gedung yang ada di pinggiran jalan, dan aksi-aksi vandalisme lainnya. Para pelaku tak ada yang berkopiah dan bersorban. Muka-muka para pelaku kusam dan sangar, awut-awutan, jauh dari wajah yang biasa terkena wudhu. Kami terus berjalan, bersama beberapa karyawan perkantoran, menyusuri trotoar, dengan penuh ketegangan.
Mendekati perempatan Matraman, ketegangan memuncak ketika kami melihat puluhan polisi berkumpul membentuk lingkaran menghadap keluar dengan senjata laras panjang dan pendek terkokang ke arah massa. Mereka tepat di tengah perempatan di bawah jalan layang dan panik. Pos Polisi di perempatan Matraman ternyata telah hancur habis diserbu massa. Beberapa warga sekitar mengatakan jika penjara pun telah dibobol dan para tahanan telah kabur. Tiba-tiba terdengar letusan senjata api beberapa kali. Kami semua berlarian menyelamatkan diri. Saya dan isteri segera masuk ke lorong-lorong pasar kecil di perempatan Matraman yang biasa dijadikan tempat mengetik skripsi para mahasiswa dan pencetakan ijazah maupun KTP aspal. Semua toko tutup. Saya dan isteri terus menyusuri lorong-lorong gelap itu.
Keadaan di jalanan masih kacau. Teriakan-teriakan bersahut-sahutan. Massa liar yang bercampur dengan warga sekitar terus memprovokasi polisi dengan teriakan-teriakan mengejak dan menghina. Mereka agaknya sangat muak kepada institusi yang satu ini. Kami terus mencari jalan di antara toko-toko yang tutup. Namun lorong ternyata buntu. Kami akhirnya kembali ke jalan dan terus berlari sambil terus merapatkan badan ke sisi yang paling kiri, karena letusan-letusan tembakan masih terdengar secara sporadis. Dua warga di seberang Pasar Pramuka terkena tembakan dan meninggal dunia.
Dengan penuh perjuangan, setelah tiarap dan bangkit berkali-kali di trotoar menghindari tembakan-tembakan yang terdengar, akhirnya kami sampai di depan gedung BPKP. Ketika menyeberang jalan, tiba-tiba dari arah ASMI datang beberapa panser TNI yang dengan suara gemuruh dan kecepatan tinggi menerabas jalan yang dipenuhi tanah dan pot-pot kembang yang sudah pecah. Kami masuk ke sebuah gang sempit dan melihat semua yang terjadi di jalan raya.
Beruntunglah rumah sudah dekat. Setelah isteri sudah di rumah, saya kembali ke jalan. Kali ini ke By-Pass. Di sana juga ramai. Warga bilang jika Mall Klender dibakar dan banyak orang tewas terjebak api. Dengan menumpang ojek motor, saya mendekati lokasi dan melihat kerumunan orang di mana-mana. Saya berkeliling dan menghimpun informasi dari banyak kontak yang ada. Malam hari saya baru kembali ke rumah.
Esoknya, dan hari-hari kemudian, saya mendapatkan banyak informasi. Tentang penjarahan yang dilakukan massa liar dan massa miskin kota. Massa miskin kota ini berafiliasi dengan salah satu parpol yang kita semua tahu. Tidak ada massa perusuh yang mengenakan peci, tidak ada massa perusuh yang mengenakan sorban, tidak ada spanduk “Ganyang Cina”.
Bahkan ketika itu juga dihembuskan isu perkosaan massal yang dimuat di media-media mainstream yang ternyata juga dusta. Ini untuk mendiskreditkan umat Islam Jakarta. Sampai hari ini tidak ada bukti jika dalam kerusuhan Jakarta terjadi kasus perkosaan massal yang menimpa warga keturunan. Kalau pun ada kasus perkosaan maka itu cuma satu dua. Jakarta tidak usah rusuh pun perkosaan tetap terjadi, sebagaimana tindak kriminal lain seperti penodongan, pencopetan, penjambretan, dan lainnya.
Jakarta, 13 Mei dan setelahnya adalah Jakarta yang panas. Sekarang, saya hanya bisa berdoa dan berharap agar Pilkada putaran kedua, 19 April 2017, berjalan dengan jujur dan adil. Situasi sudah sedemikian panas sekarang ini. Jika curang, maka apa yag tidak kita inginkan bersama bukan tidak mungkin terulang kembali. Roda sejarah memiliki logika dan daya geraknya sendiri. Jika cerdas, penguasa akan mampu memahami itu. Itu jika cerdas. Jika tidak, Wassalam….
Salam Damai,
Alumni 13 Mei 1998
Rizki Ridyasmara
dipublikasikan pertama kali di : eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah memberi masukan dengan sopan.